Tugu Keris Sumenep, yang menjulang setinggi 17 meter di perbatasan Sumenep-Pamekasan, adalah simbol monumental Sumenep dari upaya penguatan identitas daerah sebagai “Kota Keris.” Dibangun dengan anggaran mencapai Rp2,5 miliar, tugu ini didirikan pada tahun 2024 dan diresmikan pada 30 Januari 2025 oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bersama Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo.
Tujuan utama pembangunan tugu ini, selain menegaskan simbol budaya, adalah menjadi pusat kegiatan ekonomi baru. Faktanya, Tugu Keris memang dirancang sebagai rest area dan telah dilengkapi dengan stand-stand Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), galeri potensi lokal, dan wahana ramah keluarga. Pemerintah daerah secara eksplisit bertujuan menjadikan tugu ini katalisator untuk memberdayakan pelaku UMKM dan membantu perekonomian warga desa sekitar.
Namun, di sinilah titik perdebatan tajam dari judul “Antara Kebanggaan Semu dan Realitas Kemiskinan” muncul. Meskipun ada fasilitas UMKM, narasi ini menyoroti risiko bahwa Tugu Keris akan menjadi kebanggaan semu jika realitas di lapangan tidak sesuai dengan tujuan ambisiusnya. Kekhawatiran ini diperkuat oleh laporan tentang retaknya struktur bangunan tak lama setelah peresmian dan kritik bahwa stand UMKM sepi peminat atau dibangun tanpa konsep yang matang. Jika kegagalan operasional ini tidak diatasi, alokasi Rp2,5 miliar untuk monumen yang kurang terawat dan sepi pembeli akan terasa sia-sia di tengah realitas kemiskinan Sumenep yang masih tinggi.
Dari sudut pandang teori modernisasi, Tugu Keris adalah proyek pembangunan yang bertujuan membawa Sumenep ke dalam jalur kemajuan. Pembangunan simbol modern yang berorientasi pariwisata (tourism-oriented) ini adalah langkah visual untuk menunjukkan kemajuan dan keterbukaan regional. Proyek ini mencoba menggabungkan elemen tradisional (Keris) dengan infrastruktur modern (Rest Area, WiFi gratis, galeri), sebagai upaya meniru pola pertumbuhan ekonomi daerah maju.
Akan tetapi, kritik teori ini menjadi relevan: proyek semacam ini rawan terjebak dalam disparitas pembangunan. Fokus yang berlebihan pada pembangunan fisik (simbol) berpotensi mengabaikan substansi peningkatan kapasitas ekonomi rakyat. Tugu yang megah dan fasilitas UMKM yang sudah tersedia, harus diakui, adalah wujud political will untuk pengentasan kemiskinan. Namun, jika fasilitas itu tidak dikelola secara profesional, kurangnya pelatihan bagi UMKM, atau buruknya maintenance infrastruktur, maka Tugu Keris hanya akan menjadi contoh modernisasi yang pincang sebuah simbol mahal yang gagap dalam menopang kesejahteraan berkelanjutan bagi masyarakat miskin di bawah naungannya. Dengan kata lain, kebanggaan akan simbol tidak boleh mengalahkan kebanggaan melihat rakyatnya benar-benar keluar dari garis kemiskinan.
Penulis : Amalia putri, Fakultas Fisip universitas wiraraja madura





Komentar