Opini
Beranda » Blog » Pemuda Dan Harapan Indonesia: Menghidupkan Kembali Api Sumpah Yang Mulai Redup

Pemuda Dan Harapan Indonesia: Menghidupkan Kembali Api Sumpah Yang Mulai Redup

Pemuda Dan Harapan Indonesia
Pemuda Dan Harapan Indonesia

Sembilan puluh tujuh tahun sudah berlalu sejak para pemuda dari berbagai penjuru nusantara mengikrarkan tekad suci: bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu Indonesia. Namun kini, bara semangat itu seakan meredup di tengah gegap gempita dunia digital dan hiruk-pikuk kepentingan pragmatis. Generasi muda yang dahulu menjadi lokomotif perubahan kini justru kerap terjebak dalam pusaran apatisme, polarisasi, dan pencarian jati diri yang kabur. Pertanyaannya, masihkah api Sumpah Pemuda menyala dalam dada generasi hari ini?

Indonesia hari ini sedang berada di persimpangan jalan: di satu sisi kita memiliki bonus demografi dengan jumlah penduduk yang cukup banyak, namun di sisi lain, tantangan terhadap semangat kebangsaan semakin nyata. Fenomena menurunnya kepedulian sosial, meningkatnya intoleransi di ruang publik, hingga maraknya disinformasi di media sosial menjadi cerminan bahwa semangat persatuan dan idealisme pemuda perlahan memudar. Generasi yang seharusnya menjadi penggerak perubahan kini lebih sering larut dalam dunia maya yang dipenuhi konten hiburan instan dan perdebatan dangkal. Banyak anak muda kehilangan arah karena tidak lagi memiliki figur teladan yang kuat, sementara institusi pendidikan dan sosial sering gagal membumikan nilai-nilai kebangsaan secara kontekstual. Akibatnya, Sumpah Pemuda hanya menjadi upacara tahunan, bukan kesadaran kolektif yang hidup dalam keseharian.

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN

Jika ditelusuri secara historis, Sumpah Pemuda 1928 bukan sekadar deklarasi simbolik, tetapi sebuah gerakan kesadaran nasional yang lahir dari semangat intelektual dan idealisme pemuda. Para pelajar, mahasiswa, dan organisasi pemuda saat itu memiliki keberanian menembus batas etnis dan agama demi cita-cita bersama: Indonesia merdeka dan bermartabat. Kini, semangat itu seolah tertinggal di buku sejarah. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa banyak generasi muda kini memahami Sumpah Pemuda sebatas peristiwa sejarah, bukan sebagai sumber inspirasi kebangsaan yang hidup dalam keseharian mereka. Fakta ini menunjukkan adanya krisis pemaknaan terhadap nilai-nilai kebangsaan di kalangan generasi muda. Padahal, dalam konteks globalisasi dan revolusi digital, semangat persatuan dan tanggung jawab sosial justru menjadi modal utama agar bangsa tidak tercerai oleh kepentingan sempit dan arus informasi yang memecah belah. Kita menyaksikan bagaimana polarisasi politik menembus dinding kampus dan komunitas muda. Identitas keagamaan, suku, bahkan preferensi media sosial menjadi sekat baru. Di sinilah relevansi Sumpah Pemuda diuji kembali. Persatuan bukan lagi sekadar ide romantik masa lalu, melainkan kebutuhan nyata untuk menjaga masa depan bangsa di tengah kompetisi global yang makin kompleks.

Menghidupkan kembali api Sumpah Pemuda bukan sekadar tugas pemerintah atau lembaga pendidikan, melainkan tanggung jawab moral seluruh elemen bangsa, terutama pemuda itu sendiri. Ada tiga langkah konkret yang dapat menjadi pijakan. Pertama, pendidikan karakter dan kebangsaan harus diintegrasikan secara kontekstual dalam kurikulum dan kegiatan sosial. Nilai persatuan, toleransi, dan empati sosial perlu diajarkan bukan hanya lewat teori, tetapi melalui praktik nyata seperti kolaborasi lintas budaya, kegiatan sosial digital, dan proyek berbasis komunitas. Kedua, literasi digital dan berpikir kritis menjadi benteng penting dalam menghadapi disinformasi dan narasi pemecah belah. Pemuda harus belajar tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi produsen narasi positif yang memperkuat semangat kebangsaan. Ketiga, pemuda harus berani mengambil peran kepemimpinan moral di masyarakat. Tidak harus dalam bentuk jabatan formal, tetapi melalui gerakan nyata dari inisiatif lingkungan, ekonomi kreatif, hingga kampanye sosial di media digital. Kepemimpinan era kini bukan soal siapa yang paling banyak bicara, tetapi siapa yang paling konsisten membawa perubahan. Sejarah mencatat, bangsa besar selalu lahir dari tangan-tangan muda yang berani bermimpi dan bertindak. Bung Karno, Sutan Syahrir, dan Mohammad Yamin semuanya memulai langkah besar di usia muda, saat mereka percaya bahwa perubahan dimulai dari keberanian kecil untuk berpikir berbeda.

Sumpah Pemuda tidak akan pernah kehilangan relevansinya selama masih ada anak muda yang mau berpikir kritis, berbuat tulus, dan menjaga persatuan di atas kepentingan pribadi. Api itu mungkin meredup, tetapi bara keyakinan masih ada menunggu tiupan semangat baru dari generasi penerus. Kini saatnya pemuda Indonesia menghidupkan kembali ikrar itu dalam bentuk yang lebih nyata: persatuan dalam keberagaman digital, tanggung jawab dalam kebebasan berekspresi, dan solidaritas dalam kompetisi global. Sebab, masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh seberapa besar kita mengenang Sumpah Pemuda, tetapi seberapa berani kita menghidupkannya kembali.

Peningkatan Kompetensi Siswa – Siswi Melalui Pendidikan Karakter Di Smk Nurul Huda Baros Kabupaten Serang

Penulis: Dedi Arianto

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

× Advertisement
× Advertisement