RAKYATSIPIL, Malang, 12 Oktober 2025 — Tim peneliti dari Prodi Informatika dan Prodi Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali menunjukkan kontribusi nyatanya dalam menjawab tantangan zaman. Kali ini, UMM menggandeng Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) dalam upaya pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk analisis dan ekstraksi data dari putusan pengadilan. Kolaborasi ini dibahas secara mendalam dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada pertengahan September 2025 dan dihadiri oleh perwakilan kedua lembaga.
Tim peneliti dari UMM terdiri dari Galih Wasis Wicaksono, Nur Putri Hidayah, Christian Dwi Sri Kusuma Aditya, Andiko Febriyan Praja Dewa, Herlena Fatikasari, Mutiara Anggun Puspa Insani, Muhammad Hariz Faizul Anwar, dan Nizam Avif Anhari. Sementara dari pihak KYRI hadir pejabat eselon II Juma’in, beserta tim Jonsi, Nurasti, dan Rina. Dalam FGD tersebut, para peneliti memaparkan hasil awal dari proyek riset yang tengah mereka kembangkan, yaitu sebuah sistem AI berbasis transformer yang mampu mengekstrak bagian-bagian penting dari putusan pengadilan dan merangkum informasi hukum secara otomatis dan efisien.
Proyek riset ini didanai melalui skema penelitian fundamental dan saat ini berada pada Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) level 3, yaitu tahap validasi metode dan purwarupa. Fokus awal pengembangan sistem ini diarahkan pada jenis perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan total 404 putusan yang berhasil dikumpulkan dari 143 Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Pemilihan TPPO sebagai fokus awal bukan tanpa alasan. Kasus-kasus TPPO memiliki struktur kompleks, melibatkan banyak aktor dan bukti, serta sering kali menghadirkan tantangan dalam konsistensi redaksional maupun substansi yuridis.
Tim peneliti menjelaskan bahwa pengambilan data putusan mengacu pada format resmi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKKMA) Nomor 359 Tahun 2022, yang mulai berlaku efektif pada akhir tahun 2022. Ini memastikan bahwa data yang digunakan sesuai dengan standar format terbaru dalam sistem peradilan Indonesia.
Dalam proses ekstraksi dan analisis, tim UMM menggunakan teknologi Retrieval Augmented Generation (RAG), sebuah pendekatan mutakhir dalam pengembangan kecerdasan buatan. Teknologi ini menggabungkan kemampuan retrieval atau pencarian dokumen relevan dengan generation atau kemampuan menghasilkan output teks baru berbasis pemahaman kontekstual. Model RAG memungkinkan sistem untuk menemukan bagian penting dari putusan seperti identitas pihak, kronologi kejadian, dakwaan, pembuktian, pertimbangan hukum, hingga amar putusan, lalu merangkumnya ke dalam format yang lebih ringkas namun tetap informatif. Setiap putusan dapat diekstraksi hingga 34 fitur utama dengan durasi waktu ekstraksi sekitar 10 menit per dokumen, bergantung pada kualitas server yang digunakan.
Galih Wasis Wicaksono, salah satu peneliti utama dari tim Informatika UMM, menjelaskan bahwa pihaknya juga membandingkan performa dua model AI terkemuka, yakni GPT dari OpenAI dan Gemini dari Google. Dalam konteks ekstraksi putusan pengadilan berbahasa Indonesia, model Gemini menunjukkan performa lebih baik dibandingkan GPT, terutama dalam hal akurasi segmentasi dan relevansi hasil ringkasan. Namun demikian, seluruh hasil ekstraksi tetap harus divalidasi secara manual oleh tim hukum untuk memastikan kesesuaian dengan konteks yuridis dan akurasi redaksional.
Menanggapi hasil riset tersebut, pihak Komisi Yudisial memberikan apresiasi dan dukungan penuh. Jonsi, perwakilan KYRI, menegaskan bahwa AI dapat menjadi solusi bagi keterbatasan lembaga dalam melakukan analisis putusan secara manual. Saat ini KY hanya mampu menganalisis sebagian kecil dari ribuan putusan yang masuk setiap tahun, karena keterbatasan jumlah tenaga analis. Dengan adanya sistem AI seperti yang dikembangkan UMM, KY dapat meningkatkan kapasitas analisisnya secara eksponensial, sekaligus meningkatkan objektivitas penilaian terhadap kualitas putusan para hakim.
Lebih jauh, Juma’in dari KYRI melihat potensi sistem ini dalam mendukung proses rekrutmen calon hakim agung. Selama ini, penilaian terhadap calon didasarkan pada rekam jejak dan putusan yang telah mereka buat. Namun, tanpa alat bantu seperti AI, proses analisis menjadi sangat subjektif dan lambat. Dengan sistem yang mampu merangkum dan menganalisis substansi putusan secara otomatis, proses evaluasi dapat dilakukan dengan lebih transparan, cepat, dan terukur.
Selain memberikan dukungan, KYRI juga menyampaikan sejumlah usulan untuk pengembangan sistem di masa depan. Beberapa di antaranya adalah penambahan fitur analisis konsistensi putusan, deteksi disparitas pidana, serta integrasi dengan doktrin, teori hukum, dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Rina dan Nurasti menekankan pentingnya ekspansi jenis perkara yang dianalisis, tidak hanya terbatas pada TPPO, melainkan juga meliputi korupsi, narkotika, dan perdata. Visualisasi data juga dinilai penting agar hasil analisis dapat ditampilkan dalam bentuk grafik, peta, atau dashboard interaktif yang memudahkan pemahaman bagi pemangku kepentingan.
Tantangan utama dari sistem ini adalah pada aspek infrastruktur. Penggunaan model AI berbasis transformer seperti RAG membutuhkan server berkinerja tinggi dan penyimpanan besar. Galih menjelaskan bahwa untuk menjangkau skala nasional, sistem ini akan membutuhkan investasi serius pada sisi teknis, termasuk pengadaan server, sistem keamanan data, dan pelatihan pengguna. Namun demikian, menurut Putri, sistem ini tetap bisa dimulai secara bertahap dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga pengguna.
Sebagai penutup, baik tim peneliti UMM maupun pihak KYRI sepakat bahwa kolaborasi ini harus dilanjutkan ke tahap yang lebih strategis. Tidak hanya dalam bentuk riset, tetapi juga penerapan sistem di lingkungan KY, pelatihan bagi SDM, serta integrasi dengan kebijakan internal. Putri menyatakan harapannya agar hasil riset ini menjadi kontribusi nyata UMM dalam mendukung reformasi peradilan di Indonesia. “Kami tidak mewajibkan KY untuk menggunakan sistem ini. Tapi kami percaya, inisiatif ini adalah wujud tanggung jawab akademik kami untuk menghadirkan teknologi yang berguna bagi keadilan dan kemanusiaan,” ujarnya menutup sesi FGD.
Kerja sama ini menjadi bukti bahwa sinergi antara perguruan tinggi dan lembaga negara dapat melahirkan inovasi yang relevan, solutif, dan berdampak. Di tengah tantangan kompleksitas sistem peradilan, kecerdasan buatan hadir bukan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk memperkuat integritas, transparansi, dan efisiensi dalam menegakkan keadilan.





Komentar